keadilan tidaklah serta merta jatuh dari langit tetapi mesti harus diperjuangkan..

Senin, 26 Mei 2008

Rumah Panjang Sungai Utik



Jika kita menyusuri sebelah utara Putussibau ibukota kabupaten Kapuas Hulu, saat ini kita masih bisa menemukan suasana keakraban orang Iban sambil berlesehan di ruangan panjang rumah betang pada sore harinya ketika mereka pulang dari umai- (red - ladang), Kita bisa menjumpai anak gadis Iban menenun di bilik, dan kaum laki-laki Iban terkadang duduk di bawah pohon enau di seberang sungai sambil minum airnya (disebut saguer atau tuak) melepas lelah sepulang dari umai pada sore harinya (red- aktifitas ini disebut ngantor oleh masyarakat lokal). Tepatnya di kampung Sungai Utik, salah satu kampung yang masih bertahan dengan rumah panjangnya.[1] Kampung ini merupakan salah satu kampung dari 7 kampung di Jalai Lintang (Red-istilah lokal).[2] Yang menarik tidak sekedar keberadaan rumah panjangnya sampai saat ini, tetapi juga perjuangan orang Iban di kampung ini dalam mempertahankan wilayah adatnya, dimana masih bisa kita jumpai hutan dengan berbagai jenis potensi di dalamnya.




Rumah panjang dan wilayah adat merupakan dua hal pokok yang tak terpisahkan sebagai penyangga hidup orang Iban. Dan, ketika keduanya masih bisa dipertahankan di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh orang Dayak di tempat lain pada umunya, maka orang akan bertanya “mengapa” . Ini kemudian bisa menjadi bahan yang menarik untuk dipelajari bagaimanakah orang Iban mempertahankan wilayahnya ditengah bergejolaknya pembalakan hutan secara besar-besaran di kabupaten Kapuas Hulu. Dengan jumlah penduduk 251 Jiwa yang terbagi ke dalam 66 KK, orang Iban Sungai Utik masih menjaga interaksi yang baik dengan alam-nya. Ini bisa dilihat dengan adanya usaha-usaha mempertahankan wilayah adatnya dari orang luar maupun orang dalam yang hendak merampas sumber daya alam mereka.



Dengan potensi alam yang sangat kaya, orang Iban tidak terlepas dari kecemasan akan potensi kehilangan apa yang telah mereka miliki. Maraknya penebangan destruktif yang di-back up oleh cukong kayu dari Malaysia di kabupaten Kapuas Hulu dan persoalan tapal batas antar kampung menjadi bagian yang mencemaskan orang Iban di wilayah ini. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah konflik terbuka antara masyarakat dan perusahaan pada tahun 1997-1998 (lihat box 1 dan box 2). Dalam hal ini, bukan saja ancaman dari luar yang memiliki potensi konflik yang mencuat dan terbuka ke depan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah ancaman dan potensi konflik dari dalam (kampung yang berbatasan dengan Sungai Utik). Setelah konflik dengan PT. BRU, pada tahun 1998, orang Iban Sungai Utik juga harus berhadapan dengan PT. ERMA, yang berawal dari kegiatan pengerjaan jalan negara Putussibau-Badau.



Belajar dari dua kasus di atas, orang Iban Sungai Utik menyadari begitu banyak potensi konflik ke depan dengan apa yang mereka miliki. Usaha-usaha pencegahan dan penguatanpun telah dilakukan. Sebut saja beberapa diantaranya adalah (1) pemetaan wilayah adat (difasilitasi oleh PPSDAK) yang bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta; (2) penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan orang Iban dengan struktur yang mereka miliki dari dulu yaitu Temenggung (Red –Istilah Temenggung adalah merupakan kooptasi dari pemerintah Belanda), Pateh dan Tuai Rumah yang nyaris hilang sebagai akibat kooptasi pemerintah melalui UU No. 5/1979 (difasilitasi oleh LBBT)[3]; (3) Inventarisasi hutan (difasilitasi oleh PPSHK) untuk mengetahui potensi/kekayaan hutan, serta (4) identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan eksistensi tanah ulayat tersebut.



Usaha-usaha di atas adalah wujud kesadaran akan pentingnya untuk bekerjasama menghadapi persoalan. Namun, terlepas dari itu semua, kembali ke hal yang paling utama, yang menjadi dasar kuatnya pertahanan orang Iban Sungai Utik hingga sekarang adalah wujud relasi dan interaksi dengan alam dan segala isinya yang masih terjaga hingga kini. Simbol penghormatan itu terlihat dengan pepatah “tanah adalah darah dan seput kami”. Dan wujud relasi dan interaksi tersebut bisa dilihat dalam bentuk ritual-ritual pemujaan, ucapan syukur serta meminta perlindungan terhadap alam dan segala isinya kepada Betara (red. Tuhan). Sebut saja salah satunya adalah ritual bedarak-persembahan kepada Betara sebagai wujud syukur atas segala sesuatu seperti hasil panen dan sebagainya. Akankah keselarasan relasi dan interaksi tersebut terjaga jika wujud ‘penghargaan’ kepada alam dan segala isinya berubah menjadi ‘eksploitatif’, kuras habis apalagi sampai muncul istilah ‘daripada orang luar yang ambil mendingan kita sendiri orang dalam yang mengambil semuanya’?. Ini adalah cerminan bahwa apa yang harus masyarakat adat waspadai ancaman tidak saja dari luar tetapi termasuk pula ancaman dari dalam.

Box 1: Deskripsi Singkat Konflik Masyarakat Sungai Utik dan Mungguk dengan PT. BRU (1997-1998).
Tahun 1997, PT. BRU yang telah habis masa Rencana Kerja Tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT. Saat mengetahui hal itu, masyarakat memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas Kehutanan. Pihak perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga tidak diketahui Departemen Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5 kva serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp. 25.000/bulan, sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp. 15.000/bulan selama perusahaan bekerja. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah kehilangan kayu mencapai 20.000 batang terdiri dari; meranti, jelutung, merebang, sempetir, bantas dan temau.

Sumber: Laporan Lapangan LBBT 1999
Box 2: Deskripsi Singkat Konflik Masyarakat Sungai Utik dengan PT. ERMA (1998-2005).
PT. ERMA meminta tanah kas desa dengan kompensasi penimbunan jalan masuk ke Sungai Utik, mengelilingi pelataran depan rumah panjang. Kenyataannya, perusahaan hanya menimbun sedikit jalan masuk ke Sei Utik. Hal ini tidak membuat jalan semakin baik, tetapi sebaliknya. Tidak terpenuhinya harapan masyarakat, masyarakat menagih janji yang kemudian gagal dengan alasan alat-alat berat sudah di Lanjak. Perusahaan kembali berjanji (tidak tertulis) akan tetap melakukan penimbunan setelah pekerjaan selesai di Lanjak. Namun, sejak itu masyarakat sudah berkali-kali mendatangi perusahaan dan menuntut kembali janji perusahaan yang masih berlum terealisasi hingga sekarang (2005). Awal tahun 2005, Masyarakat menahan beberapa alat berat milik perusahaan. Beberapa tokoh masyarakat masih mencoba berunding dengan PT. ERMA di Pontianak. Saat berita ini diturunkan belum ada kepastian jelas kasus tersebut.

Sumber: Laporan LBBT tahun 1999

[1] Perlu dicatat bahwa telah terjadi penghancuran besar-besaran terhadap rumah panjang orang Dayak di Kalbar pada tahun 1960-an oleh pemerintah dengan alasan salah satunya adalah tidak memenuhi standart kesehatan. Padahal, rumah panjang bagi orang Dayak memiliki filosofis yang lebih dari sekedar rumah melainkan salah satu simbol pertahanan dan budaya orang Dayak. Ketika ini dihancurkan maka telah terjadi penghancuran budaya orang Dayak. Rumah Panjang orang Iban Sungai Utik sekarang sudah berusia 28 tahun.
[2] Jalai Lintang merupakan sebutan untuk jalan lintas utara (red. Versi Pemda Kapuas Hulu), dimana bermukim orang Iban di 7 kampung (Lau’ Rugun, Mungguk, Sungai Utik, Kulan, Ungak, Apan dan Sungai Tebelian) yang tergabung dalam kedesaan Rantau Prapat dan Langan Baru, kecamatan Embaloh Hulu.
[3] Temenggung adalah orang yang menguasai 2 atau lebih perkampungan (beberapa rumah panjang) dan akan akan mengambil alih tugas Pateh kalau tidak terselesaikan. Pateh adalah orang yang mengatur adat istiadat dan hukum adat antar kampung (rumah panjang) serta mengurusi adat-adat besar. Tuai Rumah Panjang adalah orang yang menancapkan tiang pertama, mengurusi adat, musim bertani, keluarga, menyatakan pantang / mali, dll. Sebetulnya tidak ada struktur (tinggi-rendah) melainkan pelimpahan kekuasaan memutuskan dalam ukuran hukuman.